Bulan sempurna membulat, memberikan warna berbeda pada lukisan langit yang hanya berwarna hitam. Meski sekeliling yang aku lihat penuh lampu gemerlap, namun tak pernah ada lampu yang akan menggantikan posisi terindah bulan di mata manusia manapun. Selain itu, alasannya adalah karena bulan hanya satu. Dimanapun kita melihatnya, sejauh apapun jaraknya, hanya satu bulan yang dilihat. Terlebih aku yang terdampar di negeri orang ini, sendirian, tanpa sanak saudara. Pedih memang, ketika harus memutuskan untuk merantau ke negeri asing. Tapi aku tahu, akan lebih pedih tinggal di tempat yang sama dengan luka yang menganga.
Jalan hidupku memang tidak melulu mulus, aku menikah di usia yang tidak muda lagi; menginjak kepala tiga. Baru beberapa minggu merasakan berumah tangga, seorang wanita menelponku dan mengatakan bahwa ia adalah istri sah dari suamiku sekarang. Aku terguncang, menyadari bahwa aku adalah madu orang lain, aku hanyalah istri kedua! Bahkan tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Marah, sedih, putus asa. Namun aku tetap berusaha untuk tegar, meski bisik kanan kiriku terus mengusik. Aku memilih bersabar mendapati kenyataan pahit ini, dan berusaha memaafkan seseorang yang telah jadi pendampingku itu untuk tetap menerimanya.
Berbulan-bulan, aku memang memilih pertahanan sebagai tamengku. Namun, tameng itu pun rapuh ketika tahu suamiku ternyata dengan mudah bersama wanita lainnya. “Ceraikan aku!” setengah berteriak aku mengucapkannya, diselingi isak dan emosi yang memuncak. Meski sebenarnya aku masih sangat mencintainya. “Dik, maafkan Mas…” ujarnya seolah maaf bisa menghapus luka yang sudah terlanjur tergores dalam di hatiku. Begitu aku mempercayainya, begitu aku mencintainya, hingga nasihat dari kakak-kakakku terutama kakak tertuaku pun aku abaikan demi bisa melanggengkan rencana pernikahan kami. Saat itu bahkan aku bersu’udzon kalau kakak-kakakku tidak suka aku mengakhiri julukan ‘perawan tua’ku. Jika aku menikah, maka aku akan berhenti bekerja dan otomatis aku berhenti menjadi sapi perah mereka. Ah… naif sekali aku kala itu.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya talak satu dikabulkan. Tapi ia masih sering kembali, seolah telah lupa dengan talak yang ia jatuhkan. Terkadang aku pun masih menerimanya, bagaimanapun cintaku untuknya tidak semudah itu terhapus. Suatu hari, kakak tertuaku marah besar mengetahui aku sedang mengobrol akrab dengan mantan suamiku. Terjadi perseteruan sengit antara mantan suamiku dan kakakku, hingga akhirnya kakak jatuh sakit dan meninggal karena penyakitnya. Aku terpukul. Seseorang yang selalu membelaku telah pergi, selamanya, dan ini karena aku!
***
“Si Narsih udah pulang dari Malaysia, kayaknya hidupnya tambah makmur.”
“Iya, kemarin dia ngajak keluarganya ke Dufan buat jalan-jalan. Padahal sebelumnya ke Kebun Raya Bogor aja boro-boro.”
“Liat dong Ceu gelang emasnya mani pinuh (banyak sekali).”
Tanpa sengaja aku mendengar obrolan pagi itu di tukang sayur, pagi-pagi suasana di area tukang sayur memang layaknya infotaiment. Kita bisa mengetahui berita dari timur kampung sampai wilayah barat, dari si anu melahirkan sampai kucingnya si anu suka nyuri ikan tetangga, dari berita yang benar adanya sampai berita yang direkayasa. Aku tersenyum berpamitan kepada ibu-ibu yang masih asyik memilih sayuran sambil bergosip ria. Mereka membalas senyumku, lalu kasak-kusuk kembali di belakangku. Tukang gosip mana yang akan melewatkan berita tentangku? Perawan tua yang menikah lalu tidak lama bercerai karena dimadu, belum lagi kakak kandungku yang meninggal dunia sehari bertengkar dengan mantan suamiku. Sudahlah, aku berusaha melupakannya dan bertindak masa bodo dengan para penggosip itu. Kecuali apa yang mereka bicarakan tentang Narsih.
Siang itu aku menemui Narsih, sahabatku ketika sekolah di madrasah tsanawiyah. “Kamu mau ikut jadi TKW di luar negeri?” tanyanya terkejut ketika kuutarakan niatku yang sudah bulat. “Bukannya kamu tidak setuju dengan TKW, Ti? Kamu bilang biar gaji kecil asal di Negeri sendiri.” Tambahnya, mengingatkanku akan penolakan yang kulakukan ketika Narsih mengajakku untuk ikut setahun yang lalu. Aku menggigit bibir, “Lain dulu lain sekarang, Sih.” Bisikku dalam hati. Narsih iba melihat perubahan air mukaku yang sudah tidak karuan, ahh.. mana mungkin ia tidak mendengar kisahku yang menghebohkan kampung? Pastilah ia tahu, tapi aku mengenalnya. Ia tidak akan bertanya banyak seperti ibu-ibu penggosip itu. “Baik, nanti aku bawa kamu ke agen penyalur TKW yang asli. Kalau kamu memang niat, aku usahakan kamu pasti berangkat, kebetulan aku sudah kenal dengan orang disana.” Ujarnya tulus. Aku mengangguk senang.
***
Ya. Hanya dalam waktu hitungan jam itulah aku memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya termasuk menjauh dari kota kelahiran dan mantan suamiku. Tanpa izin kedua kakakku yang lain di kampung sebelah, kalaupun sebelum pergi aku sempat menghubungi mereka. Itu hanya konfirmasi kepergianku, bukan untuk meminta izin. Akhirnya negeri jiran menjadi pilihanku. Mimpi untuk bisa melupakan masalahku, mimpi akan membangun kehidupan yang lebih baik dengan naiknya derajat ekonomi, mimpi warga kampungku tidak akan memandangku remeh lagi, ya mimpi-mimpi itu yang pada akhirnya membawaku kesini. Hingga sekarang. Entah kenapa, bulan selalu membuatku merindukan rumah,, semegah apapun negeri ini, aku tetap ingin pulang. Apalagi setelah malam itu keponakanku menelpon.
“Bi, baik-baik ya disana. Dara gak bisa ketemu, nemenin, dan jaga Bibi disana. Tapi Allah selalu ada dan selalu bisa menjaga Bi Santi dimanapun. Jangan lupa selalu mendekat sama Dia ya, Bi.” Pesan itu singkat, tidak macam-macam. Tapi aku tak kuasa menahan bendungan air mata, ahh.. berapa kali waktu sholat yang aku tinggalkan? Kuelus perutku yang semakin hari semakin membuncit, akibat taburan cinta palsu yang ditiupkan oleh anak majikanku. Seorang pemuda keturunan Cina, gagah dan tampan. Sejak kedatangan pertamaku, ia selalu tersenyum ramah. Tak pernah absen menyapaku di saat aku tengah bekerja membersihkan rumah atau yang lainnya. Saat itu aku selalu bersyukur mendapatkan majikan yang baik hati, terlebih anak majikanku yang sangat perhatian.
“Santi, kamu cantik ya?” ujar Andrew sambil membuka kamus bahasa Indonesia. “Benar tak yang saya ucap?” tanyanya memastikan penggunaan bahasa Indonesia nya sudah baik. Aku mengangguk sambil membilas cucian piring sisa sarapan. “Saye nak buat kamu bahagia, saye fallin in love. Bagaimana? Kamu rase sama kah?” seketika piring yang sedang kubilas terlepas. Ia bangkit dan membantuku membersihkan sisa pecahan piring. Ya, sejak itulah. Sejak ia sering memujiku, merayuku dengan kata-kata manisnya, kesalahan terbesar dalam hidupku. Lalu kekhilafan itu kini membuatku selalu menangis meratapinya.
***
“Perempuan jalang kau! Berani betul menggoda putra awak!” Majikanku yang baik hati itu pun berubah perangainya, sejak ia tahu kandunganku tengah menginjak satu bulan. “Plaaaakk!” tamparan keras mendarat di pipiku, hingga darah segar mengalir dari bibirku. Ia diam. Ia yang menanam benih hanya terdiam bersembunyi dibalik ketiak ibunya.
“Manalah mungkin aku lakukan itu padanya, Mom? Macam orang dungu saja aku!”
Duaaarrr! Aku seperti mendengar ledakan keras yang memekakkan telingaku dan menggocang hatiku. Seakan tak percaya, mulut manis pemuda itu bisa sedemikian tajam mengiris hatiku. Bahkan dengan tega, kakinya menendang perutku. Kurasakan sakit yang dahsyat di perutku hingga aku meraung-raung. Disaat itulah ia dengan sengaja menjatuhkan sebuah undangan manis bersampul hijau, tertera nama Andrew with Jasiska disana. Ahh… disaat seperti ini aku baru menyadari, untuk kesekian kalinya aku menjadi korban lelaki busuk. Kini tempat pelarianku hanya satu, mengadu padaNya. Dia yang selama ini aku lupakan dan abaikan. Setiap hari penyiksaan demi penyiksaan kuperoleh. Namun, aku pun terus mencari cara untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
***
“Narsih…” ujarku parau, setelah melihat sosoknya tengah berdiri di halte. Ia menoleh, sangat terkejut dengan apa yang terjadi padaku. Wajah lebam dan baju compang-camping. Namun akhirnya ia memelukku juga, dengan cepat membawaku dengan taksi menuju KBRI. Sepanjang perjalanan, aku hanya menangis dipelukannya. Seperti biasa, Narsih hanya terdiam tanpa bertanya apa-apa hingga aku menceritakannya sendiri. Hari itu adalah hari dilangsungkannya pernikahan Andrew, semua penghuni rumah sedang pergi. Maka dengan sisa tenaga yang kupunya, kurusak kunci kamar yang mengisolasiku. Lalu mengendap keluar lewat pintu belakang yang tidak terkunci, setelah sebelumnya kutelpon Narsih lewat telpon rumah yang terpasang. Aku tertidur nyenyak karena lelah.
Padahal aku sangat berharap aku benar-benar sedang tertidur lalu bermimpi buruk. Namun kenyataannya, perutku semakin membuncit dari hari ke hari. Beruntung pihak KBRI bersedia menampungku hingga anak dalam kandunganku lahir, dengan syarat aku bekerja menjadi juru masak di sana sampai usia kandunganku menginjak 6 bulan. Setiap bulan aku harus berbohong menelpon keluarga di rumah mengatakan kalau aku baik-baik saja dan akan segera pulang ke Indonesia. Lalu setiap bulan pula, ia selalu mengingatkanku dengan permintaan sederhananya “Bi, baik-baik ya disana. Dara gak bisa ketemu, nemenin, dan jaga Bibi disana. Tapi Allah selalu ada dan selalu bisa menjaga Bi Santi dimanapun. Jangan lupa selalu mendekat sama Dia ya, Bi.” Terima kasih Dara, sekarang Bi Santi merasa lebih dekat denganNya. Meski prosesnya harus sepahit ini, perlu teguran beberapa kali hingga akhirnya Bibi sadar, hanya Dia sebaik-baik Penolong.
Aku menatap bulan yang perlahan tertutup awan, apakah keluargaku di Indonesia akan menerima keadaanku? Kepulanganku pastilah diharap membawa harta melimpah, namun jika aku pulang membawa bayi tanpa suami… apakah mereka akan menerimaku sebagai anggota keluarga? “Santi, mintalah pada Sang Penggenggam Hati yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Ia selalu punya cara untuk melakukan hal yang melewati batas pikir manusia. Jika kelak ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapan kita. Maka yakinlah Ia tidak akan menguji melewati batas kemampuan hambaNya. Jangan pernah merasa sendiri, karena dekatnya Allah melebihi urat leher.” Kata-kata Ibu Raisa, seorang staff KBRI menguatkanku, seorang ibu muda berjilbab yang mengingatkanku pada keponakanku; Nadiah. Penampilan mereka sangat mirip, dengan jilbab yang agak lebar dan rok yang tak pernah berganti menjadi celana setiap harinya. Pertemuan yang kulakukan setiap pekan dengan pekerja di KBRI lainnya yang membuat hidupku menjadi berarti lagi setelah percobaan bunuh diriku digagalkan oleh Ibu Raisa.
Ya, aku sempat hendak loncat dari atas gedung ini. Aku benar-benar tidak bisa berpikir apa-apa kala itu. Aku hanya berpikir kalau aku tidak bisa menanggug malu atas kesalahanku ini. Aku tidak mungkin pulang dalam keadaan buncit, saat itu aku hanya memikirkan rasa maluku pada mata manusia. Sementara tak terpikir olehku, aku pastilah lebih malu jika benar-benar mati saat itu lalu bertemu dengan Rabbku dengan perut buncit dan dosa yang menggunung.
Aku mengelus lembut perutku yang membesar, sudah menginjak delapan bulan. “Nak, meski sebab kau ada adalah kesalahan besar. Namun, engkau tetaplah lahir dalam keadaan suci. Jadilah anak sholeh yang selalu dekat denganNya.” Pintaku dengan sangat.
diBawahLangit, 28 Februari 2011