Ilustrasi | bersamadakwah.net |
Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jumat yang Perlu anda Penuhi, Simak Baik-baik!
Infokyai.com - Sholat Jum'at yaitu salah satu Sholat yang dilaksanakan pada Hari Jum'at, namun saja apakah kalian pernah mendengar syarat - syarat dalam Sholat Jum'at? ternyata dalam Sholat Jum'at, bagi para jamaah harus memenuhi beberapa syarat sah lho dalam pelaksanaan Sholat Jum'at, bilamana tidak dipenuhi maka hukumnya sanggup tidak sah.
Hal ini menyerupai dilansir infokyai.com dar nu.or.id, Seperti ibadah-ibadah lainnya, shalat Jumat mempunyai beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Sekiranya tidak terpenuhi, maka shalat Jumat dihukumi tidak sah. Berikut ini yaitu syarat-syarat sah pelaksanaan shalat Jumat:
Pertama, shalat Jumat dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zhuhur. Hal ini berdasarkan hadits:
أَنَّ النَّبِيَّكَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya Nabi Saw melaksanakan shalat Jumat ketika matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR.al-Bukhari dari sahabat Anas).
Maka tidak sah melaksanakan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah datang dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melaksanakan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:
فَلَوْضَاقَ الْوَقْتُ أَحْرَمُوْا بِالظُّهْرِ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْا ظُهْراً وُجُوْباً بِلَا تَجْدِيْدِ نِيَّةٍ
“Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melaksanakan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal.236)
Kedua, dilaksanakan di area pemukiman warga.
Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melaksanakan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا
“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bab kawasan pemukiman warga. Bila jauh dari kawasan pemukiman warga, sekira musafir sanggup mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”. (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, hal.263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).
Ketiga, rakaat pertama Jumat harus dilasanakan secaraberjamaah.
Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat yaitu dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.
Keempat, jamaah shalat Jumat yaitu orang-orang yang wajib menjalankan Jumat.
Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat yaitu penduduk yang bermukim di kawasan tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standart jamaah Jumat yaitu 40 orang menghitung Imam berdasarkan pendapat berpengaruh dalam madzhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ
“Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, alasannya yaitu tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).
Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di kawasan pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melaksanakan Jumat.
Kelima, tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa
Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, jika terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah yaitu Jumatan yang pertama kali melaksanakan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.
Hal ini jika tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, menyerupai kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat alasannya yaitu kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.
Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمَّا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ
“Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya alasannya yaitu faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk kawasan atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.4).
Keenam, didahului kedua khutbah.
Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri lalu duduk, lalu berdiri lagi melanjutkan khutbahnya”. (HR. Muslim).
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan shalat Jumat. Semoga bermanfaat. (M. Mubasysyarum Bih)
Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat JumatIlustrasi (© ibtimes.co.uk)
Seperti ibadah-ibadah lainnya, shalat Jumat mempunyai beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Sekiranya tidak terpenuhi, maka shalat Jumat dihukumi tidak sah. Berikut ini yaitu syarat-syarat sah pelaksanaan shalat Jumat:
Pertama, shalat Jumat dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zhuhur. Hal ini berdasarkan hadits:
أَنَّ النَّبِيَّكَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya Nabi Saw melaksanakan shalat Jumat ketika matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR.al-Bukhari dari sahabat Anas).
Maka tidak sah melaksanakan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah datang dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melaksanakan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:
فَلَوْضَاقَ الْوَقْتُ أَحْرَمُوْا بِالظُّهْرِ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْا ظُهْراً وُجُوْباً بِلَا تَجْدِيْدِ نِيَّةٍ
“Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melaksanakan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal.236)
Kedua, dilaksanakan di area pemukiman warga.
Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melaksanakan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا
“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bab kawasan pemukiman warga. Bila jauh dari kawasan pemukiman warga, sekira musafir sanggup mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”. (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, hal.263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).
Ketiga, rakaat pertama Jumat harus dilasanakan secaraberjamaah.
Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat yaitu dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.
Keempat, jamaah shalat Jumat yaitu orang-orang yang wajib menjalankan Jumat.
Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat yaitu penduduk yang bermukim di kawasan tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standart jamaah Jumat yaitu 40 orang menghitung Imam berdasarkan pendapat berpengaruh dalam madzhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ
“Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, alasannya yaitu tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).
Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di kawasan pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melaksanakan Jumat.
Kelima, tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa
Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, jika terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah yaitu Jumatan yang pertama kali melaksanakan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.
Hal ini jika tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, menyerupai kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat alasannya yaitu kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.
Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمَّا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ
“Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya alasannya yaitu faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk kawasan atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.4).
Keenam, didahului kedua khutbah.
Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri lalu duduk, lalu berdiri lagi melanjutkan khutbahnya”. (HR. Muslim).
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan shalat Jumat. Semoga bermanfaat. (*)