Islamedia - Fatwa MUI hanya diletakkan pada tataran moral dan tidak bisa masuk ke dalam ranah hukum positif, karena dinilai bisa menurunkan derajat fatwa. Berdasarkan legal formal, hukum positif berada pada posisi tertinggi pada suatu negara. Namun yang paling tinggi dari hukum adalah moral.
Begitu yang diutarakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana selaku keynote speaker pada Seminar Bidang Komisi fatwa dan Hukum MUI, di Aula Abdi Persada Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Sabtu (11/5/2013)
"Keinginan untuk fatwa ke dalam hukum positif harus dipilah. Lebih baik tetap pada tatanan moral. Kalau diturunkan ke tataran hukum positif, maka akan menurunkan derajat fatwa," tuturnya.
"Fatwa memiliki kekuatan prinsip moral dan prinsip etika. Itu memang tidak terikat dengan kekakuan proses hukum positif. Sehingga, fatwa masuk dalam hukum tidak pas," lanjut Denny.
Seperti itu lah pendapat Wamenkumham. Namun kenyataannya, fatwa MUI yang tak memiliki kekuatan legal formal ini sering disalahkan dan dilecehkan oleh kaum liberalis. Misalnya pada kejadian kerusuhan yang menyangkut ajaran terlarang, fatwa MUI disalahkan karena dianggap menyulut kerusuhan. Padahal kenyataannya fatwa MUI adalah pencerahan dan proteksi aqidah umat Islam.
Fatwa MUI juga tak dianggap oleh pemerintah. Fatwa haramnya pernikahan beda agama misalnya, negara masih saja memberi melegalkan pernikahan salah seorang pemeluk agama Islam dengan agama lain.
Karena itu harus diperjuangkan ikhtiar agar fatwa MUI memiliki kekuatan hukum, atau setidaknya fatwa MUI bisa diturunkan menjadi undang-undang yang mengikat rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.
Begitu yang diutarakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana selaku keynote speaker pada Seminar Bidang Komisi fatwa dan Hukum MUI, di Aula Abdi Persada Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Sabtu (11/5/2013)
"Keinginan untuk fatwa ke dalam hukum positif harus dipilah. Lebih baik tetap pada tatanan moral. Kalau diturunkan ke tataran hukum positif, maka akan menurunkan derajat fatwa," tuturnya.
"Fatwa memiliki kekuatan prinsip moral dan prinsip etika. Itu memang tidak terikat dengan kekakuan proses hukum positif. Sehingga, fatwa masuk dalam hukum tidak pas," lanjut Denny.
Seperti itu lah pendapat Wamenkumham. Namun kenyataannya, fatwa MUI yang tak memiliki kekuatan legal formal ini sering disalahkan dan dilecehkan oleh kaum liberalis. Misalnya pada kejadian kerusuhan yang menyangkut ajaran terlarang, fatwa MUI disalahkan karena dianggap menyulut kerusuhan. Padahal kenyataannya fatwa MUI adalah pencerahan dan proteksi aqidah umat Islam.
Fatwa MUI juga tak dianggap oleh pemerintah. Fatwa haramnya pernikahan beda agama misalnya, negara masih saja memberi melegalkan pernikahan salah seorang pemeluk agama Islam dengan agama lain.
Karena itu harus diperjuangkan ikhtiar agar fatwa MUI memiliki kekuatan hukum, atau setidaknya fatwa MUI bisa diturunkan menjadi undang-undang yang mengikat rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.